Sore itu, dalam kelelahan aku menapaki jalan menuju rumah sepulang
aku berlaga di medan perangku yaitu kampus. Aku berdiri di depan toko
pulsa, tempat favoritku menunggu angkutan kota (angkot) yang sangat
strategis untuk dijadikan lahan penyetopan angkot. Alasannya, karena
disana tak akan menjadikan kendaraan lain ribut mengklakson angkot yg
memang diciptakan untuk main serong (tergantung sopirnya jg siiih). Lima
belas menit berlalu, angkot yg kutunggu datang dengan iringan hati
riang, ya bagaimana tidak, biasanya aku harus menunggu selama lebih dari
satu jam. Memang angkot yang langka.
Aku duduk di
belakang sopir, bukan d samping pak kusir yg sedang bekerja (kuatir
ganggu konsentrasi). Aku mengedarkan pandangan ke sekelilingku. Ada dua
orang wanita seumuran ibuku di depanku yang sedang asik dengan
perbincangan khas bangsa ibu2. Yang mereka bicarakan bukanlah hal yg
tabu karena akan mereka kupas setajam silet. Kemudian disampingku ada
seorang pria seumuran denganku, emm bukan bukan, sedikit lebih tua
dariku. Dua tahun diatas ku mungkin. Ia memakai jaket berwarna hijau dan
mencangklong tas yang sangat besar. Baru pulang kampung pikirku.
Selesai memperhatikan kondisi yang ada, aku bersiap memejamkan mata
(maklum, angkot itu sama dengan tempat tidur berjalanku hehe). Tiba-tiba
pria disebelahku mengeluarkan suara seperti kodok bangkong yang habis
menelan temannya. Aku kaget tak terkira. Tapi ternyata itu kode untuk
membangunkan aku. Ada2 saja orang itu haha, tawa kecilku dalam hati.
"Mba,
baru pulang ya? Kuliah dimana mba?" tanya pria disampingku sambil
mengarahkan pandangannya keujung jilbabku yang melambai-lambai tertiup
angin.
"Iya, kuliah dimana ya? Emang pengen banget banget tau ya?" tadinya ingin kujawab seperti itu, tapi ku ubah niatku.
"Iya,
kuliah di Univ ****** (sensor ya, biar ga ktawan2 amat minjem nama
univnya hehe)" kujawab dengan nada mi dalam tangga nada.
"Mba semester berapa? Mba asli sini?"
"Semester
6, saya tinggal disini dari 3 tahun lalu" kujawab sekenanya, berharp ia
menyadari keterusikanku dengan gaya sok kenalnya itu.
"Boleh tau
ga mba dmn rumahnya?" pertanyaan yang membuatku mendelik. Kutatap
matanya sedikit, benar lho hanya sedikit, memastikan dia tidak bermaksud
jahat.
"Buat apa nanya rumah saya?"
"Mau ngelamar
mba" kali ini pernyataan yang diselingi dengan senyum dahsyat milik pria
di sampingku itu. Hatiku melonjak riang, eh bukan bukan (ktauan bgt
ngarepnya itu mah). Hatiku nyutnyutan, emmm bukan juga kyk'a. Hatiku tak
karuan. Kali ini aku menatapnya lekat2. Wajahnya teduh, kuberi nilai 85
dari 1000, kejauan dong itu ya hehe. 85 dari 100. Tapi tak lama otakku
bekerja. Apa-apaan ini, blum kenal banyak udah main lamar, pasti asal
usul pria ini tak jelas. Jangan2 aku mau dijadikan yang kedua. Atau
jangan2 dia pria yang dicari2 polisi karena kasus pembunuhan 15 laki2
berturut2 sepekan lalu yg ramai di berita, lalu dia mencoba mencari
wanita yg mau dinikahinya untuk memperkuat alibi bahwa dia bukan seorang
gay? Aaaah, apa sih >,
Fokus.
Aku hanya memberi senyuman
kepasrahan lalu diam tak berbahasa sampai waktu yg telah ditentukan.
Waktu turun dari angkot maksudnya. Ia tak menatapku, hanya melihat
kearah sepatuku yang sedari muncul pernyataan aneh pria itu tak henti2
menghentak hentak. Aku melirik kearahnya, ia tersenyum. Kalah telak aku.
Akhirnya waktuku habis. Aku berpamitan pada sopir angkot.
"Depan, kiri ya bang"
Dan hanya sekilas memberi senyum pada pria asing bin aneh yang duduk disampingku.
Aku
berjalan dengan hati menggalau. Mimpi apa ya aku kemarin malam?
Sepertinya aku tak mimpi di patok ular. Hemmm, tahayul lagi. Dasar
manusia kurang iman ckck
Sesampai dirumah aku
langsung bergegas ke lantai atas, istana kecilku. Tertempel di depan
pintunya "kamar bidadari yang cantik". Ibuku yang menempelkannya,
membuat aku selalu tersenyum setiap memasuki ruang itu. Aku
menyelesaikan ritualku, mandi, makan, buka diary lalu curhat dan lain
lain. Ritual selesai, pintu kamar diketuk. Ibuku masuk dengan senyum
senyum jahil. Hemmm, ada sesuatu nih.
"Nak, sudah siap ninggalin ibu" ibu bertanya masih dengan senyuman jahil
"Ih ibu apa sih? Kok gitu ngomongnya?" aku membenarkan posisi dudukku lalu merangkulnya.
"Bu, Nilam ga akan ninggalin ibu" lanjutku manja di pelukan ibu.
"Lho, tadi Salman ke rumah. Ngelamar kamu lagi"
"Siapa Salman?" Aku semakin tak mengerti arah pembicaraan ini
"Namanya
Salman Al Ghifari, semester 8 sedang proses menjemput kelulusan. Kuliah
di Semarang sekaligus punya usaha percetakan kecil2an. Datang ke rumah
saat Nilam mandi, lalu menyatakan keseriusannya menikahi kamu. 5 bulan
lagi dia kemari bersama orangtuanya dan ibu menyetujuinya. Oh iya, dia
minta nomer kamu Nilam, jadi ibu kasih deh hehe" ibu cengar cengir
melihat kekhusyu'anku mendengar dongengnya.
"Lah tapi Nilam ga kenal tuh bu. Nilam juga ga punya temen namanya Salman, adanya salaman kalo lagi kondangan hehe"
"Coba di inget-inget lg, tadi di angkot kamu ketemu siapa" ibuku cekikikan tak karuan
"Huwaaaaa, ibuuuuuuuu" aku hanya bisa bergulat manja dengan ibuku.
Setelah percakapan dengan ibuku malam itu, hp-ku berdering. Ada sms. Nomer baru, siapa ya?
Jadi nama anti Nilam, secantik orangnya ya. Alhamdulillah ibumu merestui, tinggal perjuanganku merebut hatimu nih. Doakan ya ;)
Membaca
pesan dari pria asing yang entah mengapa ingin menikahiku itu, membuat
aku bergidik. Jangan-jangan benar apa yg aku prasangkakan tadi, hiiiiy.
Langsung kutarik selimut dan berusaha kupejamkan mataku. Oh ya, tak lupa
ku berdoa, smoga ia bukan buronan polisi, jadi 5 bulan lagi statusku
bukan jomblowati lagi. Ups, doa tidur maksudnya ;)
*kisah ini disponsori oleh angkot model elf dan rekan manisku asal Minang. Di tunggu lanjutan kisahnya di semester berikutnya :D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar